Posted in Books, Gramedia Pustaka Utama, History, Non Fiction, Winny Gunarti

Putri Ong Tien Review

wpid-img_20150206_182534.jpg

***

Hmmm…

Sebenarnya, saya tidak suka pelajaran sejarah. Membeli buku ini juga diluar rencana. Kebetulan saja buku ini kena diskon di stand Gramedia Banjarmasin pas acara Banjarbaru Book Fair 2015. Selain itu, covernya juga cantik. Dan biasanya cerita-cerita yang berlatar belakang negeri China ini mengandung pesan-pesan moral yang disampaikan dengan indah. Plusnya lagi, buku ini bisa menjadi tiket saya untuk ikut Asia Pacific History Reading Challenge-nya Bang Helvry.

Jujur saya masih bingung apakah buku ini termasuk buku non fiksi atau tidak. Menurut penulisnya sih, buku ini adalah sebuah faksi, fakta sejarah yang dibalut fantasi. Fantasinya sengaja dimasukkan agar fakta sejarahnya menjadi lebih ringan. Tapi untuk saya, tetap saja tidak mempan, huehehehe, maaf. Saya tetap bosan membaca buku ini, karena menurut saya, meskipun ada unsur fantasinya, buku ini tetap lebih berat ke bagian fakta sejarahnya.

Untungnya penampilan fisik buku ini banyak membantu. Covernya indah dan ilustrasi bagian dalamnya keren. Kalau saya mulai bosan, saya akan mengelus-ngelus covernya dan membolak-balik ilustrasi halaman-halamannya biar kembali semangat 😀

Ceritanya sendiri mengisahkan tentang Putri Ong Tien, putri dari Kerajaan Tiongkok yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Nah, saya belum pernah membaca atau mendengar sekalipun tentang putri ini. Saya bahkan tidak terlalu banyak tahu tentang Sunan Gunung Jati. Jadi saya menelan bulat-bulat saja informasi yang ada di buku ini, tidak yakin yang mana yang fantasi dan yang mana yang fakta.

Tapi dari analisis sementara saya, halah analisis 😀 , saya rasa hampir semua informasi di buku ini adalah fakta kecuali bagian-bagian yang tampaknya sengaja didramatisir.

Saya baru tahu kalau Sunan Gunung Jati ternyata mempunyai darah Mesir, bahwa nama beliau adalah Syarif Hidayatullah, dan beliau pernah tinggal di Tiongkok dan menjadi tabib ternama.

Karena ketenarannya sebagai tabib inilah, maka Kaisar yang berkuasa saat itu memanggil beliau ke istana. Disanalah beliau bertemu dengan Putri Ong Tien yang sengaja disuruhnya ayahandanya untuk berpura-pura hamil dengan mengikat bokor kuningan di perutnya. Hal itu dilakukan untuk menguji kesaktian sang tabib.

Tapi yang terjadi adalah bokor kuningan sang putri tiba-tiba menghilang dan sang putri jadi hamil betulan. Kaisar murka dan Syarif Hidayatullah pun diusir dari Tiongkok.

Namun, sang putri sudah terlanjur jatuh cinta dengan sang ulama. Belum lagi dengan keadaannya yang hamil bokor kuningan. Hal ini membuat sang putri bertekad untuk menyusul sang ulama ke tanah Jawa. Maka perjalanan laut yang berbahaya pun ditempuh sang putri. Setelah mengalami banyak perpisahan dan pengorbanan, sang putri akhirnya berhasil sampai ke tanah Jawa dan bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Mereka akhirnya menikah dan sang putri masuk dalam keluarga besar Kesultanan Cirebon. Lalu bagaimana dengan bokor kuningannya? Yah silahkan baca sendiri bukunya 😀

Ngomong-ngomong, sayang sekali di buku ini ada beberapa paragraf yang tidak lengkap. Ada beberapa kata atau kalimat dari paragraf tersebut yang seolah hilang. Salah satunya adalah ini:

” …Kemudian, setelah tiga hari menikah, pengantin perempuan akan d

bunyikan berbagai alat musik,….”

(hal 30)

Nah itu “d” apa sambungannya ya? Kalimatnya jadi terasa janggal. Sayangnya, bukan hanya satu, tapi ada beberapa kalimat putus seperti itu di buku ini.

Oke, lupakan saja kesalahan ketiknya. Yang paling penting dari buku ini adalah pelajaran yang bisa saya ambil dari peristiwa sejarah Putri Ong Tien. *sok bijak*. Setelah membaca kisah sang putri, terutama di bagian saat Kaisar ingin menguji kesaktian Syarif Hidayatullah, saya jadi menyadari bahwa jangan pernah sekalipun mencoba membohongi orang lain dengan maksud mempermalukan. Ujung-ujungnya kita sendiri yang akan malu.*catet*.

Kemudian saya juga terkesan sekali dengan tekad kuat yang dimiliki oleh putri dari Kaisar China ini. Bayangkan saja sang putri rela meninggalkan tanah kelahirannya untuk menuju sebuah negeri yang sama sekali asing. Perjalanan yang ditempuh selain sangat jauh, juga sangat berbahaya. Jujur saja, keberanian sang putri untuk mengikuti kata hatinya membuat saya iri.

Terus cerita ini juga mengingatkan saya kalau hubungan negeri kita dengan negeri China sudah berlangsung sejak jaman dulu kala. Mengingat ini saya jadi pusing sendiri. Memikirkan bagaimana orang-orang tempo dulu saling berinteraksi dengan penampilan dan bahasa yang jauh berbeda. Bagaimana mereka menemukan daerah-daerah asing lewat jalur pelayaran yang bukan saja memakan waktu berbulan-bulan tapi juga harus berhadapan dengan para perompak. Orang-orang tempo dulu ini gigih sekali ya.

At last, saya suka dengan pesan-pesan moral yang disampaikan oleh cerita ini. 3 dari 5 bintang deh. I liked it ^_^ 

***

Judul: Putri Ong Tien: Kisah Perjalanan Putri China Menjadi Istri Ulama Besar Tanah Jawa | Pengarang: Winny Gunarti | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Edisi: Bahasa Indonesia, Cetakan I, 2010 |  Jumlah halaman: 200 halaman | Status: Owned book | Tanggal beli: 31 Januari 2015 | Tempat beli: Stand Gramedia Banjarmasin @ 3rd Banjarbaru Book Fair 2015 | Rating saya: 3 dari 5 bintang

***

Submitted for New Authors RC 2015, Lucky No. 15 RC Category Who Are You Again? and Asia Pacific RC 2015

narc2015

lucky-no15

logo asia pacific reading challenge

Posted in Books, Feby Indirani, Gramedia Pustaka Utama, Life Stories, Memoir, Non Fiction, Self Help

Alien Itu Memilihku Review

 alien_itu_memilihku_by_feby_indirani

Title: Alien Itu Memilihku | Author: Feby Indirani | Edition language: Indonesian | Publisher: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2014 | Page: 301 pages |  Status: Owned book (bingkisan dari @bone_cancer) September,6th 2014 | My rating: 5 of 5 stars

Hari itu, tanggal 30 September 2014, saya membuka twitter dan dapat kabar gembira kalau review saya untuk buku Hero by Rhonda Bryne terpilih sebagai #ResensiPIlihan dari @Gramedia. Tidak lama kemudian, saya juga mendapat bingkisan dari @bone_cancer yang isinya buku Alien itu Memilihku. Belakangan baru saya ketahui kalau @bone_cancer adalah Mbak Indah Melati Setiawan yang kisahnya dituliskan di buku tersebut.

Thank God, saya dapat dua buku gratis dalam satu hari. Dan itu cukup membuat saya bawaannya pengen meloncat-loncat sepanjang minggu. *halah*.

Ehm, kembali ke Alien Itu Membunuhku. Sebelumnya, silakan dibaca dulu sinopsisnya yang saya ambil dari cover belakang buku:

Sinopsis:

“Pahaku yang sebesar pepaya mengkal terasa berdenyut-denyut. Aku membayangkan jari-jari alien itu tumbuh semakin besar dan bergerak aktif mencengkeram tulang. Makhluk asing yang menjadi kian kuat dari waktu ke waktu.

Aku bergidik ngeri membayangkan alien itu menelusup di balik kulit —  dalam diam namun sangat gesit — melancarkan peperangan dan upaya merebut kekuasaan atas tubuhku.”

Kehidupan Indah — seorang wanita profesional Jakarta yang aktif dan dinamis — tiba-tiba berubah 180 derajat. Paha kirinya membengkak dan semakin besar dari waktu ke waktu, seolah ada “alien” yang tumbuh dan bersarang di dalamnya. Kaki kirinya terancam diamputasi dari pangkal paha. Lebih dari itu, ancaman maut pun hadir persis di depan matanya.

Suram. Itulah kesan pertama saya setelah membaca buku ini. Bahkan sejak halaman pertama saya sudah punya firasat kalau buku ini bakalan membuat saya menangis. Yah, saya memang cengeng dan gampang sekali menitikkan air mata. Dan benar saja. Saya menangis hampir disepanjang buku. Bahkan saat menulis review ini mata saya masih bengkak. *sedot ingus*.

Buku ini ditulis oleh Feby Indirani, tapi dituliskan dengan cara seolah-olah Mbak Indah-lah yang menuliskan kisahnya sendiri.

Dan kutipan pertama yang saya tempeli bookmark adalah kutipan berikut:

Bhiksu Garbha menyarankanku mendengarkan sutra demi menenangkan pikiran. Karena penyakit bisa bersumber dari pikiran, maka dengan pikiran yang tenang dan terpusat dapat membantu penyembuhannya.

(hal 87)

Nah, pas sekali dengan masalah saya saat ini yang kalang kabut karena ada jerawat yang tumbuh tiba-tiba di saat ada acara penting. *apa coba*. Kutipan di atas, selaras dengan buku Hero yang baru-baru ini saya baca, bahwa dengan pikiran yang positif, kita dapat menyingkirkan hal negatif seperti penyakit. Thank God, jerawat itu akhirnya sembuh dengan cepat 😀

Tapi kawan, masalah yang diceritakan dalam buku ini bukanlah penyakit sesepele jerawat yang tumbuh di saat yang tidak tepat. Ini adalah kisah nyata tentang penderita kanker tulang ganas yang berhasil bertahan hidup.

Kali ini, kanker yang harus dilawan oleh tokoh utama kita adalah kanker Ewing Sarcoma. Kanker yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Sama seperti semua kanker ganas lainnya, kanker ini juga menyerang orang-orang yang dipilihnya dan perlahan mengambil alih segalanya dari orang-orang tersebut. Kesehatan, kemandirian, kecantikan, harapan, bahkan kehidupan.

Ini bukan kisah nyata pertama yang saya baca. Tapi kisah ini, bagi saya, punya poinnya sendiri. Sebelumnya, setiap saya membaca buku tentang perjuangan seseorang melawan penyakit, yang jelas selalu membuat saya menangis, saya selalu bertanya kenapa sih harus dia, kenapa harus orang itu. Dan buku ini akhirnya memberikan jawabannya melalui kata-kata suster Ong berikut:

“Tapi sesungguhnya kamu harus bersyukur mengalami kanker. Tuhan bekerja dengan cara misterius….”

(hal 180)

Nah, reaksi pertama saya setelah membaca ini persis seperti reaksi Mbak Indah:

“Saya tahu Anda berniat baik, tapi saya rasa Anda belum pernah mengalami kanker. Jadi, tolong jangan mengatakan saya beruntung harus mengidap penyakit seperti ini.”

(hal 180)

Untungnya Suster Ong punya penjelasan yang bagus:

“Tidak, kamu tidak mengerti,” ia memotong kalimatku dengan cepat. “Saya bukan meremehkan penderitaanmu, tapi kadang kita tidak bisa mengerti cara-cara Tuhan mengangkat derajat seseorang.

(hal 180)

“Kamu tidak pernah tahu, mungkin Tuhan sedang menempamu untuk menjadi orang yang luar biasa dengan memberimu penyakit kanker ini… Jadi percayalah, kanker ini mesti kamu syukuri…”

(hal 183)

Nah, itu dia. Saya sebenarnya sudah sering membaca kalimat-kalimat seperti itu. Sebelumnya, saya rasa kalimat-kalimat penyemangat seperti yang diucapkan oleh Suster Ong ini sama sekali nonsense. Sebagus apapun maksudnya, helloooo, penderita kanker tetap menderita.

Tapi, somehow, lewat buku ini, kalimat itu terasa benar dan dapat saya terima. Terutama di bagian “kadang kita tidak mengerti cara-cara Tuhan mengangkat derajat seseorang”. Strike pertama yang langsung kena ke hati saya. *tsaaah*.

Saya jadi mengerti, kalau kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, memang, hanya orang-orang hebatlah yang terpilih untuk mengalami ujian seberat menderita penyakit kanker ganas. Kalau dia berhasil untuk bertahan dan sabar, well, tidak diragukan lagi, Tuhan memang punya cara sendiri untuk mengangkat derajat seseorang.

Tapi kisah ini tidak melulu suram kok. Ada juga beberapa bagian yang membuat saya tersenyum. Salah satunya adalah saat Mbak Indah mempertanyakan kenapa James Ewing mau-maunya memberikan namanya untuk dijadikan nama penyakit. Mbak Indah juga membandingkannya dengan Mbah Moedjair. Wow, saya baru tahu kalau Mbah Moedjair ini ternyata penemu spesies ikan mujair 😀

Drama yang terjadi diantara Mbak Indah dengan pihak rumah sakit pra dan pasca operasi mirip seperti saya. Yeah, saya juga pernah dioperasi karena patah tulang paha akibat kecelakaan. Pengalaman dibius dan sebagainya memang seperti itu. Waktu itu saya sudah merasa malu sekali karena sempat bertingkah tidak mau minum obat yang diberikan oleh dokter. Tapi ternyata ada yang lebih bertingkah daripada saya ya, ahahaha. *dikeplak Mbak Indah*. Kasian para perawat yang harus menghadapi pasien-pasien seperti kami 😀

Sedikit banyak, membaca chapter tersebut, membawa ingatan saya kembali kepada saat-saat saya juga harus terbaring di rumah sakit. Tidak bisa berjalan, tidak boleh makan sebelum operasi, tidak boleh minum, bagaimana rasanya dibawah pengaruh obat bius. Dan saat itu juga hanya ada mama yang selalu ada disamping saya. Huaaaah. Saya jadi pengen nangis lagi. *peluk mama*.

Waktu itu, saya merasa seperti orang yang paling menderita di seluruh dunia. Tapi setelah membaca kisah Mbak Indah, saya rasa penderitaan saya waktu itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Haduh, jadi malu. *tutup muka pakai bantal*.

Saya suka ilustrasi-ilustrasi yang ada di buku ini. Somehow, ilustrasi-ilustrasi itu dapat mencerahkan suasana suram dari kisah ini. Tapi, saya sedikit tidak suka dengan kutipan-kutipan yang sengaja diperbesar dibeberapa halaman. Kutipan itu diambil dari halaman yang bersangkutan. Membacanya jadi berasa terulang-ulang. Tapi ini masalah selera saja sih sebenarnya.

Dibagian akhir juga ada gambar-gambar yang disisipkan. Termasuk gambar paha Mbak Indah yang membengkak karena kanker. Ya Tuhaaaan, ternyata memang benar seperti pepaya. Ada juga gambar tumornya setelah diangkat. Mengingatkan saya pada tumor tante saya yang tidak sengaja saya lihat waktu saya kecil. Padahal itu sudah lama sekali. Tapi bayangan alien itu memang tidak mudah dilupakan.

Saya sangat menyukai bagian ending buku ini. Strike terakhir. IMO, ditulis dengan bagus sehingga terasa sangat personal, seakan ditujukan langsung kepada saya. Bahkan saat saya membaca ulang halaman itu, air mata saya kembali mau menetes. Dan kalimat favorit saya adalah yang ini:

Buku ini dipersembahkan untukmu, sebagai tanda cinta. Karena kita tak bisa menjumpai pelangi, sebelum siap menyeberangi hujan.

(hal 283)

Sebenarnya masih banyak strike-strike dari buku ini yang ngena di hati. Tapi kalau dituliskan semuanya bakalan panjang sekali. So, silakan baca sendiri bukunya dan lihat apakah kalimat-kalimat tersebut juga berefek sama terhadapmu 😉

At last, ini adalah buku tentang bagaimana bertahan melewati cobaan hidup. Ini adalah buku yang mengajarkan kita untuk bersyukur atas segala hal kecil yang mungkin kita lewatkan. Ini adalah buku yang mengingatkan kita, tidak perlu menunggu menjadi sempurna untuk membantu orang lain. Lakukan kewajiban kita sekarang. Dan seperti kata Mbak Indah:

Memberikan apa yang kita punya dengan cara apa pun yang kita bisa

(hal 280)

So, 5 dari 5 bintang untuk buku ini. Yeap, full rated. Terutama untuk strike-strike-nya yang tepat mengenai saya. Sangat menginspirasi. And it was amazing to me.

Posted in Books, Gramedia Pustaka Utama, Non Fiction, Publisher, Rhonda Byrne, Self Help

Hero Review

hero_by_rhonda_byrne_uploaded_by_irabooklover

Title: Hero | Author: Rhonda Byrne | Edition language: Indonesian | Publisher: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2014 | Page: 253 pages |  Purchase location: gramediaonline.com | Date purchased: September, 20th 2014 | Price: Rp103.600 + ongkir Rp30.000 | My rating: 5 of 5 stars

And baby

It’s amazing I’m in this maze with you

I just can’t crack your code

One day you screaming you love me loud 

The next day you’re so cold

Yeap itu potongan lagu Holy Grail by Jay – Z feat  Justin Timberlake. Terus apa hubungannya sama buku Hero by Rhonda Byrne? Tidak ada sih, hehehe, *dikeplak*.

Potongan lagu itu jadi notification tone untuk email masuk saya. Email masuk dari gramediaonline.com yang memberitahu saya kalau Hero edisi bahasa Indonesia sudah terbit.

Horeeee….Hero sudah terbit 😀 . Rasanya sudah lama sekali sejak saya dapat info dari Goodreads kalau Rhonda Byrne merilis buku Hero. Langsung dimasukkan ke wishlist hari itu juga dan yakin kalau Gramedia pasti bakalan menerjemahkan buku ini. Dan ini diaaaa….akhirnya penantian panjang saya terjawab ^^

Sama seperti buku ini yang langsung saya masukkan ke daftar wishlist setelah dapat info dari Goodreads, saya juga langsung memesan buku ini setelah dapat info dari gramediaonline.com. Meskipun ada sedikit drama dalam prosesnya, akhirnya saya berhasil memesan buku ini dengan baik dan benar, *apa coba*.

Sebelumnya, yuk disimak dulu sinopsis Hero yang saya contek dari cover belakang buku:

Sinopsis:

Ini adalah kisah tentang mengapa Anda ada di planet Bumi

Ada yang istimewa dari diri Anda. Anda dilahirkan dengan maksud tertentu yang tidak dimiliki oleh tujuh miliar manusia lainnya. Ada kehidupan yang dimaksudkan untuk Anda hidupi; ada perjalanan yang dimaksudkan untuk Anda jalani. Buku ini adalah tentang perjalanan itu.

Dua belas orang paling sukses yang hidup di dunia sekarang ini berbagi perjalanan mereka yang terasa mustahil, dan mengungkapkan bahwa masing-masing dari kita terlahir dengan segala sesuatu yang kita perlukan untuk menjalani impian terbesar kita — dan dengan melakukannya kita akan memenuhi misi kita, serta secara harafiah mengubah dunia.

Alkisah, ada seorang pahlawan.

Hmmm….

The Secret is the law of attraction

The Power is love

The Magic is thanks

and now…

Hero is you

Yap, pahlawan itu adalah Anda atau ….errrr….diri kita sendiri. Tergantung dari sudut pandang siapa kita menyebutkannya 😀

Menurut saya ada yang berbeda dari buku Hero ini dibandingkan dengan buku-buku Rhonda Byrne sebelumnya. Seingat saya, The Secret, The Power, dan The Magic, semuanya menyebutkan kalau Semesta ini adalah Semesta yang tidak mengenal kata-kata negatif. Seakan-akan tidak ada hal negatif di dunia ini. Hal-hal  negatif itu tidak akan ada kalau kita cukup sadar untuk terus berpikir positif. Bahkan dalam berkata-kata pun, kita menghindari hal negatif.

Bagi yang sudah pernah membaca The Secret mungkin masih ingat, misalnya, kalau kita tidak ingin terlambat, kita tidak bisa mengatakan “kita tidak ingin terlambat” karena Semesta tidak mendengar kata tidak dan yang ada malah kita akan tetap terlambat. Lebih baik mengatakan “saya ingin tepat waktu”. Pokoknya selalu katakan hal-hal positif, tidak ada yang negatif.

Nah, di buku Hero ini, saya lega sekali, akhirnya, The Secret cs menerima kalau hal negatif itu memang ada. Hero bilang kalau dunia ini adalah dunia yang dualitas. Kalau ada hal positif, maka pasti ada hal negatif. Seberapa kuat pun kita berusaha, hal negatif selalu akan menemukan celah untuk mengganggu kita. Dan tergantung kita apakah akan membiarkan si negatif ini bercokol terlalu lama atau langsung menggantikan tempatnya dengan hal yang positif.

Hero mengajarkan kita bagaimana menghadapi si hal-hal negatif ini dengan gaya pahlawan. Ingat kalau dalam cerita-cerita pahlawan, selalu ada para penjahat. Ingat dalam cerita-cerita pahlawan selalu ada saat-saat dimana sang pahlawan hampir kalah. Dan sang pahlawan pada akhirnya pasti bisa memenangkan pertarungan.

Hero mengajarkan kita bagaimana membangunkan pahlawan yang ada di dalam diri kita. Bagaimana menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan pada akhirnya menjadi pahlawan untuk orang-orang disekitar kita.

Satu yang paling saya suka dari Hero adalah pelajaran tentang pentingnya intuisi bagi seorang pahlawan dan bagaimana cara melatih intuisi tersebut. Intuisi pahlawan dalam diri kita akan selalu memanggil-manggil selama kita hidup. Sampai kita bisa menjawab pertanyaan di atas. Pertanyaan tentang alasan mengapa kita ada di planet bumi.

Uniknya, keesokan harinya setelah saya selesai membaca Hero, saya menemukan bukti langsung tentang bagaimana hebatnya seorang pahlawan.

Kisah berawal dari rumah saya jauh berada di dalam sebuah kompleks, *halah*. Capek sekali kalau harus berjalan kaki ke pintu gerbang kompleks. Selama ini saya adem-adem saja karena saya memiliki kendaraan untuk keluar dari kompleks. Selama itu pula saya sering bertemu adik-adik mahasiswi yang berjalan kaki untuk pergi keluar kompleks. Intuisi saya mengatakan kalau saya seharusnya menawarkan tumpangan untuk adik tersebut. Toh tujuan kami sama-sama keluar kompleks. Tapi pikiran saya mengatakan kalau saya malu memberikan tumpangan. Bagaimana kalau adiknya menolak, merasa tersinggung atau berpikiran yang macam-macam terhadap saya, *lebay mode on*.

Hari itu, hari saya diawali dengan buruk. Ada sebuah ketidaksengajaan yang mengakibatkan saya harus berjalan kaki keluar kompleks. Karena baru saja membaca Hero, saya masih punya ingat untuk mengganti pikiran dongkol dengan pikiran penuh syukur. Akhirnya, belum jauh saya berjalan, ada kakak cewek yang menawarkan tumpangan.

Waktu itu rasanya saya seperti ingin langsung berteriak kegirangan. Kakak itu baik sekali mau menawarkan saya tumpangan. Satu diantara banyak orang yang lewat di sekitar saya. Satu yang menjadi pahlawan bagi saya.

Meskipun dalam kejadian ini bukan saya yang jadi Hero, tapi saya bisa merasakan bagaimana senangnya orang-orang di sekitar kita kalau kita menjadi Hero untuk mereka. Sejak itu saya berjanji untuk tidak akan mengabaikan intuisi saya untuk menjadi Hero.

Hero, sangat menginspirasi saya untuk segera bergerak mengikuti panggilan pahlawan. Meskipun saya rasa panggilannya masih kalah kuat dibandingkan panggilan The Secret. Namun, seperti semua buku Rhonda Byrne sebelumnya, Hero juga berhasil membuat saya lebih …. errr …. bahagia 😀

Dan sepanjang hari itu, meskipun diawali dengan buruk, saya bisa merasa bahagia. Hari itu, saya tiba-tiba bisa melihat para pahlawan di sekitar saya. Aksi-aksi heroik mereka memang memberikan kebahagian bukan hanya kepada orang-orang yang mereka tolong tapi juga untuk orang-orang disekitar mereka. Bahkan hanya sekedar melihat saja sudah senang.

Ada banyak kalimat menarik dan menginspirasi dari buku ini. Saking banyaknya, saya bingung mau menuliskan yang mana. Kalau dituliskan semua sepertinya akan menghabiskan seluruh buku juga kayaknya 😀

Akhirnya saya pilih secara acak dan saya memutuskan untuk memajang yang ini:

Saya mengetahui potensi yang Anda miliki dalam diri Anda. Saya mengetahui keutamaan-keutamaan dan daya-daya heroik yang Anda miliki dalam diri Anda. Inilah kisah Anda, tapi hanya Anda yang bisa menghidupinya. Ini perjalanan Sang Pahlawan Anda, tapi hanya Anda yang bisa melakukannya. Sekarang Anda sudah memilki peta serta kompas, dan Anda memiliki kami semua bersama Anda, di setiap langkah perjalanan.

(hal 234)

Berbeda dengan saudara-saudaranya, Hero dicetak dengan edisi hardcover. Haduh, jujur saya kurang suka dengan buku-buku hardcover. Tapi ini bukan masalah besar sih, hehehe. Untungnya, ilustrasi Hero menurut saya keren. Model peta perang tempo dulu gitu. Sedikit mengingatkan saya dengan peta dari buku The Lord of The Ring by J.R.R Tolkien. Saya sempat membayangkan melihat tulisan Middle Earth 😀

At last, selamat belajar menjadi pahlawan dengan Hero. Buku keempat dari seri The Secret ini juga berhasil meraih rating 5 dari 5 bintang dari saya.  It was amazing to me.

Dan sebagai penutup mari kita dengarkan lagu Hero-nya Mariah Carey. Cocok sekali dengan buku ini. At last, you’ll finally see the truth.
That a hero lies in you 😉

Posted in Biography, Books, Fahrurraji Asmuni, Hemat, Non Fiction

Syekh Abdul Hamid Abulung: Korban Politik Penguasa Review

syekh_abdul_hamid_abulung_korban_politik_penguasa_by_fahrurraji_asmuni

Title: Syekh Abdul Hamid Abulung: Korban Politik Penguasa | Author: Fahrurraji Asmuni, S. Pd, MM.| Edition language: Indonesian | Publisher: Hemat| Edition: 2nd Edition, April 2014 | Page: 80 pages | Status: Owned Book (given by the author) | Date received: 6 September 2013 |  My rating: 3 of 5 stars

***

Sinopsis:

Di hadapan raja, Datu Abulung mengatakan bahwa beliau tidak dapat dibinasakan dengan alat apapun dan jika raja membinasakannya haruslah dengan senjata yang berada di dinding rumah beliau dan menancapkan ke dalam daerah lingkaran yang beliau tunjkkan yaitu di belikat beliau. Beliau berpesan, “jika darah yang keluar dari tubuhku berwarna merah, maka aku dan ajaranku yang salah, tetapi jika darah yang keluar dari tubuhku nanti berwarna putih, maka aku berada dalam kebenaran. Setelah berkata demikian, Datu Abulung shalat dua raka’at, ketika beliau shalat itulah senjata tersebut ditusukkan di tempat yang sudah beliau tunjukkan, maka memancarlah darah segar berwarna putih. Namun yang sangat aneh dan mengagumkan adalah bahwa dari ceceran darah segar Datu Abulung tertulis kalimat “Laa Ilaaha Ilallah Muhammadur Rasulullah”. Suasana jadi hening, hadirin bungkam menyaksikan kepergian Datu Abulung ke alam sejati.

Buku kedua hasil dapat gratisan dari guru saya. Cerita lengkap gratisan-nya bisa dilihat di review buku pertama di sini 😀

Setelah membaca sinopsis di atas, tidak heran mengapa diantara 36 Datu yang ada di buku Datu-datu Terkenal Kalimantan Selatan, Syekh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung, “dituliskan” bukunya tersendiri.

Datu Abulung yang bernama asli Haji Abdul Hamid hidup dari tahun 1148 – 1203 H. Di buku ini dijelaskan bagaimana beliau mendapat gelar Syekh dan Datu, tapi tidak disebutkan kenapa beliau dikenal dengan nama Datu Abulung.

Membaca buku ini, membuat saya menyadari bahwa bahkan di Kalimantan Selatan pun, yang sebelumnya saya kenal sebagai daerah yang aman dan minim konflik, ternyata pernah terjadi peristiwa yang …. errr…. sangat sulit saya percayai pernah terjadi. Datu Abulung ternyata pernah membuat kesal Sultan jaman dahulu sehingga sang Sultan berusaha menyingkirkan beliau dengan berbagai cara.

Apa yang dilakukan oleh Datu Abulung sehingga membuat Sultan Banjar marah? Well, silakan baca sendiri ceritanya karena menurut saya topik ini sedikit sensitif 🙂

Buku ini memberikan kesan sebagai pembersihan nama baik bagi Syekh Abdul Hamid dan juga Syekh Muhammad Arsyad. Di buku Datu-datu Terkenal Kalimantan Selatan, disebutkan bahwa Syekh Muhammad Arsyad ikut berperan dalam keputusan hukuman mati bagi Datu Abulung. Di buku ini dijelaskan bukti-bukti bahwa hal tersebut tidak benar.

Typo atau kesalahan ketik di buku ini masih banyak. Tapi, somehow, tidak terlalu mengganggu seperti di buku Datu-datu Terkenal Kalimantan Selatan.  Oh ya, ada satu kata dalam bahasa daerah Kalimantan Selatan (bahasa banjar) yang nyelip di buku ini. Tepatnya ada di halaman 24 di kalimat berikut:

…., apabila salah daripada mereka meninggal dunia, maka yang satu kena memandikannya.

Kata kena dalam kalimat di atas bisa diartikan sebagai nanti dalam bahasa Indonesia. Ngomong-ngomong membaca kalimat di atas langsung mengingatkan saya dengan gaya bicara guru saya yang juga sekaligus si pengarang buku ini. Persis sekali 🙂

Buku ini tidak hanya menceritakan kisah hidup Datu Abulung, tapi juga hubungan beliau dengan Syekh Muhammad Aryad, ajaran-ajaran beliau, dan keturunan serta pengikut beliau yang masih hidup sampai sekarang. Khusus bagian tentang ajaran-ajaran beliau, membuat saya, untuk sekali lagi menyadari, bahwa tingkat spiritual saya masih sangat jauh.

Overall, buku ini membuat saya menyadari bahwa masih banyak yang tidak saya ketahui tentang daerah dan agama saya sendiri. Kisah yang diceritakan dalam buku ini sangat dekat tapi sekaligus terasa sangat jauh. Membaca kisah hiduh Datu Abulung seperti membaca kisah hidup seorang wali yang nun jauh di seberang pulau. Padahal beliau adalah seorang Syekh yang berperan besar menyebarkan agama Islam di daerah saya sendiri.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada guru saya yang memberikan buku beliau ini dengan cuma-cuma. Jujur kalau tidak diberi gratis saya mungkin tidak akan membaca buku ini *ditimpuk pakai sendal*.

Buku dengan genre seperti ini bukan my cup of tea. Tapi saya rasa buku ini wajib dibaca oleh orang-orang yang hidupnya jauh dari “dunia pesantren” seperti saya. Terutama untuk orang-orang Kalimantan Selatan. Bangga rasanya mengetahui daerah sendiri ternyata juga pernah mempunyai ulama hebat.

Kalau boleh request, saya harap nanti juga ada buku tentang ulama-ulama dibalik Pesantren Rakha yang ada di daerah Amuntai. Jujur saya tidak tahu apa-apa tentang pesantren tersebut. Padahal pesantrennya dekat sekali dengan rumah saya. *ngesot minder*.

Sama seperti kisah nya yang terasa dekat tapi jauh sekaligus, gaya penulisan buku ini, somehow, terasa lancar dan tidak lancar sekaligus. Saya cukup nyaman dengan gaya penulisannya, tapi typo dan kalimatnya yang terlalu panjang, serta informasi yang kurang lengkap membuat nya terasa tidak nyaman.

Contoh informasi yang kurang lengkap misalnya seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Tidak dijelaskan kenapa Syekh Abdul Hamid lebih dikenal dengan nama Datu Abulung, meskipun kenapa beliau mendapat gelar Syekh dan Datu sudah ada.

Kemudian ada juga tentang shalat daim. Memang dijelaskan apa itu shalat daim tapi jujur saya masih bingung tentang shalat daim karena saya rasa ada yang missing dalam penuturannya. Apakah shalat daim itu shalat lima waktu seperti yang disebutkan di awal sub bab ataukah shalat yang setidak-tidaknya dilaksanakan sekali seumur hidup seperti yang disebutkan di akhir sub bab atau dua-duanya benar tergantung pendapat ulama mana yang kita ikuti.

Dan ngomong-ngomong tentang bagaimana keramatnya Datu Abulung yang kebal terhadap berbagai usaha pembunuhan, saya jadi teringat legenda Achilles dari Yunani dan juga cerita fantasi Percy Jackson by Rick Riordan. Mereka hanya sama-sama bisa dibunuh jika dilukai pada titik tertentu di tubuh.

Selain itu juga pembuktian kata-kata Datu Abulung dengan darah merah dan darah putih beliau. Mirip legenda Banyuwangi ya. Sebagai pembuktian apakah si korban bersalah atau tidak. Kalau tidak bersalah maka air sungai akan beraroma wangi.

Mengingat kemiripan-kemiripan ini membuat saya iseng berpikir bagaimana sebuah kejadian bisa memiliki kesamaan seperti itu. Dengan pengecualian kisah Datu Abulung yang saya rasa memang benar-benar terjadi, saya jadi berpikir dari mana ide dari peristiwa yang ada di dalam cerita Achilles atau Banyuwangi itu berasal, apakah memang benar-benar terjadi, hanya khayalan yang tiba-tiba muncul dari kepala pengarang, atau dari cerita mulut ke mulut yang awalnya hanya bersumber dari suatu peristiwa yang benar-benar terjadi tapi karena telah tersebar terciptalah versi masing-masing daerah. Wallahu a’lam.

At last,  3 dari 5 bintang untuk kisah hidup Datu Abulung. Terutama untuk keberhasilannya yang membuat saya ingin lebih banyak lagi membaca buku-buku sejenis ini.

So, I liked it 😀

Posted in Books, Fahrurraji Asmuni, Hemat, Non Fiction

Datu-Datu Terkenal Kalimantan Selatan Review

IMG_20140913_0004
Title: Datu-Datu Terkenal Kalimantan Selatan | Author: Fahrurraji Asmuni, S. Pd, MM.| Edition language: Indonesian | Publisher: Hemat| Edition: 2nd Edition, 2013 |Status: Owned Book (given by the author) | Date received: 6 September 2013 |  My rating: 3 of 5 stars

***

Senang itu….

Ketika kamu pulang kampung diakhir pekan….

Dan saat tiba di rumah….

Adikmu yang baru pulang sekolah bilang….

Kamu dapat 2 buku gratis dari Pak Guru ^^

Alhamdulillah dapat dua buku gratis lagi dari Bapak Fahrurraji Asmuni, guru Bahasa Indonesia SMA saya . Saking senangnya, saya sampai lupa menitipkan ucapan terima kasih.

Total, saya sudah diberi 4 buku gratis karangan beliau. Buku-buku tersebut adalah Sastra Lisan Banjar Hulu, Sajadah Iblis, Datu-Datu Terkenal Kalimantan Selatan, dan Syekh Abdul Hamid Abulung: Korban Politik Penguasa. Terima kasih banyak ya Bapak. Saya jadi malu nih dikasih buku gratis terus, ahaha.

Tapi kalau buku terbaru Bapak terbit lagi, boleh deh saya dikasih gratis lagi, *lhoooo* XD

Ehm, oke deh, saatnya membahas bukunya. Sebetulnya, ketika saya masih SMA, jangan ditanya kapan karena sudah lama sekali, saya jadi berasa tua, buku ini sudah terbit. Edisi yang saya punya ini, merupakan edisi cetak ulang oleh penerbit yang berbeda.

Sebenarnya, sudah sejak dulu saya ingin membaca buku ini. Tapi….judulnya itu loh, bikin malas *kena keplak*.

Terutama saat melihat daftar panjang nama para Datu yang ada di cover belakang. Dalam bayangan saya, buku ini bakalan ditulis dengan “gaya buku sejarah”. Pasti deh isinya silsilah para Datu, lengkap dengan keturunannya, yang menurut pengalaman saya setelah membaca buku-buku seperti itu, pasti banyakan saya skip saja.

Tetapi saya keliru, buku ini ternyata ditulis seperti cerita rakyat. Dan layaknya cerita, kisahnya mengalir dan bisa saya tamatkan sekali duduk. Membaca buku ini rasanya seperti membaca buku dongeng alih-alih buku sejarah. Eh tapi yang mengatakan ini buku sejarah siapa juga ya?, ahaha.

Setelah usut-mengusut, saya akhirnya menemukan di mana letak kesalahpahaman saya. Saya kecele dengan judul bukunya. Buku ini berjudul “Datu-datu Terkenal di Kalimantan Selatan”. Nah, sugesti awal saya setelah melihat judulnya adalah buku ini merupakan buku “Sejarah Datu-Datu”, bukan buku “Cerita Datu-Datu”. Saking tersugestinya saya, saya sampai tidak ngeh kalau dibagian kata pengantar, sebenarnya sudah disebutkan kalau buku ini berisi “Cerita Datu-Datu”.

Saya baru sadar setelah saya membaca sampai pada cerita Datu Ala, tepatnya di paragraf berikut,

“Demikian sekelumit cerita mengenai Datu Alabio, sedangkan benar atau tidaknya cerita ini penilaiannya diserahkan kepada para pembaca.”

(hal 13)

Ohhhh, ternyata buku ini bukan buku sejarah. Apalagi kalau diteruskan membaca sampai ke chapter Datu Haji Batu. Cerita beliau ini mirip cerita Damarwulan yang mencuri selendang bidadari.

Namun, ada juga kisah yang memang merupakan fakta sejarah. Seperti Datu Kalampayan misalnya. Datu ini memang sangat terkenal. Makam dan karya beliau masih ada sampai sekarang.

Selain Datu Kalampayan, total ada 36 Datu yang kisahnya dimuat dalam buku ini. Mereka adalah:

  1. Datu Abdullah
  2. Datu Abulung
  3. Datu Ahmad Balimau
  4. Datu Ala
  5. Datu Aling
  6. Datu Arya Tadung Wani
  7. Datu Banua Lima
  8. Datu Bumburaya
  9. Datu Burung
  10. Datu Candi Agung
  11. Datu Daha
  12. Datu Gadung
  13. Datu Haji Batu
  14. Datu Kalampayan
  15. Datu Kandang Haji
  16. Datu Karipis
  17. Datu Kartamina
  18. Datu Kasan
  19. Datu Kurba
  20. Datu Landak
  21. Datu Magat
  22. Datu Murkat
  23. Datu Nafis
  24. Datu Niang Thalib
  25. Datu Nihing
  26. Datu Ning Mundul
  27. Datu Nuraya
  28. Datu Patih Ampat
  29. Datu Pujung
  30. Datu Sanggul
  31. Datu Suban
  32. Datu Sungsum
  33. Datu Taniran
  34. Datu Tungkaran
  35. Datu Tungku
  36. Datu Ulin

Nah, mari kita cek seberapa kenalkah saya dengan Datu-datu ini. Dari ketiga puluh enam Datu ini, saya cuma mengenal, atau lebih tepatnya, pernah mendengar nama Datu Kalampayan, Datu Nuraya, dan Datu Sanggul. 3 dari 36. Astagaaaaa….saya ini orang Kalimantan Selatan atau bukan yak? *tutup muka pakai ember*.

Dengan penasaran, saya membaca kisah Datu yang pertama, Datu Abdullah. Dan kejutan… Datu Abdullah ini ternyata orang Amuntai. Amuntai is my hometown. Tempat tinggal beliau di daerah Sungai Malang. Sungai Malang mah dekat sekali dengan rumah saya. Bisa dibilang kita tetanggaan. Namun,  saya tidak pernah mendengar nama Datu Abdullah. Haduh, saya merasa gagal jadi orang Amuntai. *nangis*

Datu Abdullah ini ternyata seorang pejuang. Dan lewat kisah belliau, pertanyaan yang menghantui saya selama ini akhirnya terjawab.

Saya selama ini bertanya-tanya, kenapa penjajah Belanda sampai bisa menang melawan rakyat Kalimantan. Kalau boleh sombong sedikit, orang Kalimantan tempo dulu itu terkenal dengan kemampuan ilmu gaibnya yang sangat hebat dan cenderung …. eh…. mengerikan.

Dalam bayangan saya sih tinggal santet saja itu para penjajah, beres deh. Atau keluarkan saja mandau terbang, sumpit beracun, menghilang tiba-tiba, keluarkan penyakit, bersekutu dengan hantu, dan sebagainya. *tetiba jadi kejam*.

Etapi ternyata Belanda memang pintar. Benar awalnya Belanda kewalahan menghadapi pasukan Datu Abdullah yang mempunyai kemampuan gaib untuk bisa menghilang.

Tapi penjajah Belanda bernama Van der Wijck mengatakan seorang pejuang harus bertarung secara ksatria. Tidak boleh ada ilmu gaib ala hilang-menghilang kayak gitu. Kalau masih tetap pakai ilmu gaib juga, nanti daerah Sungai Malang akan dibumihanguskan.

Yah, begitulah. Kisah akhirnya bisa ditebak, kan? Jelas para pejuang kita kalah menghadapi persenjataan Belanda yang jauh lebih hebat. Maka perjuangan Datu Abdullah pun berakhir.

Oke, itu baru cerita Datu Abdullah, kalau saya ceritakan semuanya satu-satu ntar bakalan kepanjangan, spoiler dan tidak asik lagi.  Jadi, baca sendiri saja ya bukunya. Kisahnya seru-seru loh.

Selain itu ada banyak pengetahuan baru yang saya sebagai orang asli daerah pun tidak tahu. Meskipun pengetahuan tersebut statusnya masih cerita dari mulut ke mulut.

Dari buku ini, tepatnya pada kisah Datu Banua Lima,  saya baru tahu kalau Kerajaan Negara Dipa bukanlah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan. Sebelumnya ada Kerajaan Tanjungpuri yang berasal dari para pendatang dari Kerajaan Sriwijaya.

Yang dari Kalimantan Selatan pasti familiar dengan nama Tanjungpuri kan? Tanjungpuri itu nama daerah tempat objek wisata di Kabupaten Tabalong. Nah saya baru tahu kalau nama Tanjungpuri itu berasal dari nama kerajaan, *dasar tidak gaul*.

Saya juga baru tahu kalau Puteri Junjung Buih adalah puteri dari Raja Kartapala. Raja yang memerintah di Kerajaan Tanjungpuri.

Rasanya dulu saya pernah membaca entah di buku mana kalau Puteri Junjung Buih ini lahir dari buih yang muncul dari hasil pertapaan Lambung Mangkurat. Lambung Mangkurat kan Patih dari Kerajaan Negara Dipa? So, jadi yang mana yang benar ya?

Saya juga baru tahu kalau ada tiga nama Kabupaten di daerah Hulu Sungai yang diambil dari nama Lima Panglima Kerajaan Tanjung Puri.  Mereka adalah Tabalong, Balangan dan Tapin. Dua sisanya merupakan nama daerah di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yaitu Alai (Batang Alai) dan Hamandit (Batang Hamandit). Kisah Datu Banua Lima ditutup dengan kisah + fakta yang membuat saya yang berasal dari daerah pahuluan ini merasa bangga luar biasa ^^

Dari kisah Datu Patih Ampat, saya baru tahu kalau Datu Pambalah Batung yang —  nama beliau dijadikan nama Rumah Sakit di Amuntai sekaligus nama jalan rumah saya — beserta tiga Datu lainnya,  meskipun sudah gaib, tapi ternyata masih bisa dipanggil. Nah, hayooo, siapa yang berani coba memanggil Datu? 😀

Sebelum membaca buku ini, saya menganggap sebutan Datu ini hanya untuk orang-orang yang memiliki keramat yang ilmu agama Islamnya tinggi semisal Datu Kalampayan.

Tapi ternyata para panglima kerajaan jaman dulu pun bisa dipanggil Datu. Setelah saya cek di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Salah satu dari arti Datu adalah orang yang keramat. Jadi asalkan punya keramat maka seseorang sudah bisa dipanggil Datu.

Dari tadi saya banyak membahas Datu-Datu yang berasal dari kerajaan lama. Lalu bagaimana dengan Datu-Datu yang ilmu agama Islamnya nya tinggi? Semisal Datu Kalampayan, Datu Nuraya, Datu Sanggul, Datu Suban dan Datu-Datu lainnya.

Well, sekali lagi, silakan dibaca sendiri. Membaca kisah-kisah para Datu ini membuat saya merasa kalau ilmu agama saya masih sangat sangat sangat jauh sekali. Ya iyalah ya, dibandingkan sama Pak Haji di seberang rumah saja saya masih kalah jauh ;(

Tapi kisah mereka tidak membuat saya minder dan pasrah. Biasanya sih kalau saya melihat orang yang tampaknya lebih alim daripada saya, saya akan merasa minder.  Namun, kisah-kisah para Datu ini malah membuat saya semangat untuk meningkatkan ibadah. Mungkin gara-gara keramat beliau-beliau ini ya? Wallahu a’lam.

Oh ya, ada satu lagi informasi penting dari buku ini yang membuat saya penasaran sekali ingin mencoba. Ini ada hubungannya dengan lewat di daerah Tatakan di Kabupaten Tapin. Catat ya, cuma “lewat”.

Ngomong-ngomong, apakah kalau kita ingin pergi dari Banjarmasin ke Hulu Sungai otomatis akan melewati Tatakan? Nanti saya cari tahu dulu deh. Pokoknya ada yang ingin saya coba. Penasaran? Baca saja kisahnya di cerita Datu Nuraya 😀

Terus…terus…soal tampilan bukunya. Saya lebih suka cover yang ini daripada cover edisi lama. Tapi typo atau kesalahan ketik di dalamnya banyak sekali.

Sebetulnya saya tidak terlalu bermasalah dengan typo. Asal kata-katanya masih bisa dibaca dan dimengerti maka tidak apa-apa. Soalnya saya yang cuma mengetik tulisan di blog saja masih belum bisa bebas dari typo, apalagi mengetik untuk sebuah buku yang tebalnya ratusan halaman.

Tapiiii kan kalau typo-nya kebanyakan, mengganggu juga sih 😀 . Semoga nanti kalau di cetak ulang lagi kisah Datu-Datu ini bisa bebas dari typo. Meskipun penerbitnya cuma penerbit lokal, bukan berarti kita tidak bisa bebas dari typo seperti penerbit-penerbit besar di pulau Jawa kan 😉

Kemudian lanjut ke soal siapa yang cocok membaca buku ini. Mmmmm….saya rasa buku ini kurang cocok untuk dibaca anak kecil meskipun kisah-kisahnya bergaya dongeng. Ada beberapa cerita yang cenderung ke cerita orang dewasa. Ada cerita yang menurut saya kelewat seram sampai saya tidak berani ke kamar mandi malam-malam. Ada juga yang membuat saya merasa kalau ada makhluk halus yang memandangi saya waktu saya tidur.

Terus sekedar info, kalau ada yang iseng ngecek ISBN di cover belakang buku, saya rasa ISBN nya salah cetak. Soalnya ISBN itu punyanya buku Sajadah Iblis. Tapi ISBN yang di bagian identitas buku di halaman depan benar saja kok.

At last,  saya memberi 3 dari 5 bintang untuk buku Datu-Datu Terkenal Kalimantan Selatan. Terutama untuk pengetahuan-pengetahuan baru dan cerita-cerita Datu-nya yang memotivasi.

NB: Antrian baca saya berikutnya adalah buku hadiah yang kedua, judulnya Syekh Abdul Hamid Abulung: Korban Politik Penguasa. Tunggu review-nya ya *wink*