***
Seri Love Flavour. Setelah membaca The Mint Heart, The Vanilla Heart, The Coffe Memory, dan The Strawberry Surprise, sekarang giliran The Mocha Eyes. Dan tetap, favorit saya adalah The Mint Heart (‘▽’ʃƪ) ♥. Eh tapi saya suka semua seri Love flavour kok. Yah setidaknya yang sudah saya baca karena saya belum punya The Chocolate Chance.
Hmmm, The Mocha Eyes. Dilihat dari judulnya, berarti rasa cinta kali ini adalah rasa mocha yang ada hubungannya dengan mata. Menurut saya, si mata mocha ini cukup kena, tapi tidak kena-kena amat, hahhahh, *ngomong apa sih kamu Ra*.
Maksudnya mocha-nya ada, mata mochanya juga ada, tapi saya tidak bisa merasakan rasa mocha tersebut, baik dari si mata ataupun dari kisah cintanya. Tapi bisa juga sih karena saya membacanya terlalu cepat sehingga tidak fokus. Atau bisa juga karena seperti coffee, saya terlalu sering minum mocha sehingga rasanya sudah kebas, *apa coba*.
Ehm, oke, itu cuma pendapat saya. The Mocha Eyes sendiri ceritanya menarik kok. Pesan moralnya juga bagus. Tentang bagaimana caranya berdamai dengan masa lalu yang tidak menyenangkan. Daaaan, cover-nya kereeeeen. Saya suka sekali. Jadi ingin minum mocha.
Kisah The Mocha Eyes adalah tentang seorang gadis yang enerjik dan ramah yang bernama Muara. Tapi itu dulu, sebelum Muara mengalami sebuah musibah menyakitkan dan membuatnya trauma. Muara sekarang menjadi dingin, antisosial, dan jarang tersenyum.
Sampai dia bertemu dengan cowok keren bernama Fariz di sebuah acara training motivasi yang diadakan oleh tempat Muara bekerja. Sebagai seorang trainer motivasi, tentu saja Fariz ini tipe cowok yang berkebalikan dengan Muara. Tampan, sangat menarik, hangat dan selalu tersenyum. Pokoknya dia cowok yang selalu baik kepada semua orang. Tipe cowok yang kadang sifat baiknya ini sering disalahartikan oleh para wanita sebagai rasa cinta.
Sebagai cowok keren, Fariz ditaksir banyak cewek, tapi cuma Muara yang tidak peduli dengan Fariz. Disaat cewek lain berebut perhatian Fariz, Muara malah menjauh kalau Fariz mengajaknya mengobrol. Sebagai seorang profesional, Fariz langsung tahu kalau Muara mempunyai masalah. Dan dia bertekad untuk membantu Muara. Sementara itu Muara menganggap Fariz sebagai hantu. Entah kenapa, kemanapun dia pergi, dia selalu bertemu dengan Fariz.
Lalu apa peran mocha disini? Selain warna mata yang membuat salah satu tokoh utama kita ini jatuh cinta, mocha juga dijadikan filosofi kalau hidup itu seperti rasa mocha yang mengandung rasa manis cokelat dan pahitnya kopi. Terima saja keduanya maka kita akan menemukan rasa mocha yang enak.
Nah, siapa yang memiliki mata mocha dan siapa yang perlu memahami filosofi mocha dalam hidupnya?
Membaca The Mocha Eyes mengingatkan saya kepada alasan mengapa saya tidak terlalu suka membaca kisah romance. Ya, ada beberapa adegan di The Mocha Eyes yang membuat saya menitikkan air mata. Ada beberapa adegan juga yang menurut saya kata-katanya terlalu puitis.
At last, 3 dari 5 bintang untuk The Mocha Eyes. I liked it.
***
Judul: The Mocha Eyes| Pengarang: Aida M.A. | Penerbit: Bentang Pustaka | Edisi: Bahasa Indonesia, Cetakan I, Mei 2013 | Jumlah halaman: 250 halaman | Status: Owned book (Banjarbaru Book Fair 2015) | Rating saya: 3 dari 5 bintang
***
Submitted for Indonesian Romance RC 2015, New Authors RC 2015, Lucky No. 15 RC Category Cover Lust