Berawal dari keberadaan sumur tua di belakang tempat tinggal saya yang baru di kota orang, saya jadi teringat buku horor yang ceritanya sudah sangat populer sampai dijadikan film, Ring by Koji Suzuki.
Melihat sumur itu sontak saya langsung ngebayangin jangan-jangan di dalamnya ada tulang belulang Sadako *berasahorror*.
Saya sudah lama sekali membaca buku ini, waktu saya masih kelas dua SMA, dan sampai sekarang belum berani nge-reread ataupun membaca sekuelnya. Tapi saya masih ingat salah satu adegan di bagian terakhir ceritanya.
Adegan ketika si tokoh utama (lupa namanya) menyadari bahwa dia telah terjebak di dalam sebuah lingkaran. Lingkaran cincin yang di dalamnya ada impian Sadako yang harus terus disambung karena siapapun yang berani memutusnya akan mendapat amarah Sadako.
Waktu itu, dengan entengnya saya mengatakan kalau si tokoh utama ingin bebas dari lingkaran itu, dia hanya harus mencari orang yang mau berkorban. Orang yang mau berkorban untuk memutus kutukan itu dengan konsekuensi meninggal secara mengerikan karena kutukan Sadako. Haduh, memangnya siapa yang mau yah? *selfkeplak*
Mengingat adegan tersebut, saya jadi memikirkan lingkaran ini. Persis sepeti cincin kutukan Sadako, saya baru menyadari kalau saya juga terjebak di dalam sebuah lingkaran jahat. Dan, IMO, ini berhubungan dengan kebudayaan yang sudah mendarah daging di kota kecil saya.
Sama seperti ketika saya baru menyadari bahwa dialek kota kecil saya ternyata berbeda dengan dialek kota Banjarmasin ketika saya pergi merantau ke luar kota, saya juga baru menyadari salah satu kebiasaan orang-orang (gak semua loh ya) di kota kecil saya yang cenderung melontarkan “kutukan” kepada orang yang telah mereka anggap membuat mereka sakit hati, saat saya sedang berada di kota lain.
Karena menurut saya walaupun kami masih sepulau, orang-orang di tempat tinggal saya sekarang ini jarang ada yang kutuk-mengutuk, setidaknya tidak secara terang-terangan 😀
Contoh kutuk-mengutuk di kota kecil saya misalnya begini, ibu saya pernah kecewa dengan seorang tukang bangunan yang membuat ruang makannya tampak dibuat sembarangan alih-alih cantik. Saking marahnya ibu “mengutuk” agar tukang itu tidak mendapat orderan lagi dari orang lain.
Saya juga pernah mendengar seorang atasan yang tersinggung karena bawahannya tidak mentaati perintahnya, dan atasan itu “mengutuk” agar bawahannya itu selamanya jadi bawahan.
Ga usah jauh-jauh deh, saya juga pernah dikutuk secara terang-terangan oleh dua orang cowok yang saya tolak cintanya *preeeet….sok populer deh lo Ra*. Secara halus mereka kira-kira bilang begini: “tunggu aja karmanya”. Grrrrrr, ampun deh, awas loh ya gue kutuk balik *eh*.
Saya juga pernah mengutuk orang yang seenaknya membentak saya di depan umum dan mengatakan saya buta warna karena pas foto yang saya serahkan background merahnya terlalu terang sehingga warnanya cenderung jadi merah oranye. Orang itu bilang “heh kamu ini buta warna ya, ini foto backgroundnya bukan merah, tapi cokelat!!!”.
Nah lo, reaksi pertama saya adalah saya langsung mengutuk orang itu di dalam hati semoga dia selamanya ga bisa bedain warna cokelat sama warna merah oranye. Kakak yang saat itu menemani saya ternyata juga langsung mengutuk semoga anak orang itu nantinya juga buta warna.
Bahkan saat saya di kota lain dan bertemu dengan teman sekampung, saya juga pernah mendengar dia mengutuk seseorang. Haduh, sepertinya kutuk-mengutuk ini sudah jadi budaya di kota kecil kami. Dan ini bukan pengaruh dari serial Mahabrata yang sekarang lagi populer 😀
Untuk orang-orang di kota kecilku, manusiawi memang, kalau kita merasa disakiti, kita akan marah dan mengutuk orang yang kita anggap sudah berbuat jahat pada kita. Berharap karma yang sama berlaku untuk orang itu supaya kita puas dan sakit hati kita terbalaskan. Dan kita anggap itu sah-sah aja. Toh dia yang salah duluan.
Tapiiiiii coba deh bro buka pikiran dan coba tarik diri untuk melihat dari sudut pandang orang luar, saya rasa apa yang kita lakukan itu jahat ya, jahat sekali.
Dan alih-alih percaya dengan karma, saya lebih percaya dengan firman Tuhan di surah Az-Zalzalah ayat ke 7-8 berikut: *edisiramadhan*:
7. Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
8. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
IMO, bro, itu artinya kalau kita balas sakit hati kita dengan mengutuk orang yang bersangkutan supaya dia menderita, maka kita sama saja berbuat jahat dengan orang itu, dan itu artinya kita membiarkan diri kita untuk mendapatkan balasan kejahatan lagi. Dan kalau kita dijahati lagi (biasanya lewat orang yang berbeda), dan kita kutuk dia lagi, maka kita akan dapat balasan kejahatan lagi. Begitu seterusnya gak putus-putus. Kayak lingkaran kutukannya Sadako.
Dan saya rasa itu menjawab pertanyaan atas kesialan-kesialan yang selama ini terjadi di hidup saya. Gak terhitung deh sudah berapa kali saya mengutuk orang kalau saya merasa sakit hati. Dan kutukan itu jelas merupakan undangan bagi kesialan-kesialan yang datang menghampiri saya, termasuk mau pipis saat sudah duduk manis saat tarawih di mesjid mau dimulai *abaikan*.
Terlebih karena kebiasaan yang manusiawi tanpa sadar saya terjebak di lingkaran itu. Dan sama seperti pendapat saya sebelumnya tentang lingkaran Sadako, saya rasa lingkaran itu juga bisa diputus kalau ada yang mau berkorban.
Untungnya berkorbannya ga perlu mati secara mengerikan versi kutukan Sadako. Berkorbannya cuma perlu maaf. Yaaa, maaf. Kalau kita bisa memaafkan orang yang menyakiti kita alih-alih ngasih dia kutukan, maka kita akan mendapatkan kebaikan alih-alih kejahatan yang terus bersambung.
Tapiiiiiiii….susah memang. Reaksi pertama memang harus marah kayaknya. Tapi tahan deh jangan sampai ngutuk orang. Maafkan Ra … maafkan *jedotinkepalakedinding*.
Mungkin begini saja ya, saat ada orang yang menyakiti kita, reaksi pertama kita setelah marah adalah, tarik napas. Terus buka pikiran deh, tuh orang jadi nyebelin ke kita jangan-jangan kita duluan yang bikin dia sebal. Gak ada asap tanpa api kan. Terus saya juga pernah baca di sebuah buku (lupa judulnya) kalau dalam perang itu, kedua belah pihak pasti sama-sama merasa benar. So, jangan boro-boro merasa kita yang teraniaya dulu ya, coz siapa tahu ternyata kita yang menganiaya duluan.
Nah, gara-gara sumur ini, yang mengingatkan saya sama lingkaran cincinnya kutukan Sadako, saya harap saya bisa keluar dari lingkaran jahat yang ini. Saya harap saya bisa mencabut setiap kutukan yang sudah terlanjur saya lemparkan ke orang-orang.
Untung waktu ngutuk saya ga seperti Maleficent yang bilang “tidak ada kekuatan di dunia yang bisa menangkal kutukan ini” :D. Saya percaya Tuhan yang Maha Kuasa bisa menghapus kutukan itu. Saya maafkan kalian semua. Maaf saya sudah pernah merasa dongkol dengan kalian, siapa pun itu. Maaf reaksi pertama saya saat itu adalah mengutuk kalian dengan hal-hal yang jelek. Sungguh saya minta maaf.
Saya betul-betul berdoa mohon bantuan kepada Tuhan semoga Dia menghapus dendam yang ada di hati saya. Karena jujur bro, ada beberapa dari kelakuan kalian yang bikin saya masih sedikit jengkel *eh*.
Dan saya harap semua orang yang sudah pernah mengutuk saya juga bisa memaafkan saya. Saya betul-betul minta maaf. Salah saya pernah berkata kasar kepada kalian dan membuat kalian tersinggung. Salah saya kalau background foto itu berwarna merah oranye. Dan masih banyak salah saya yang lain. Ya betul itu semua salah saya dan saya tidak berhak mengutuk kalian. Maaf sekali lagi.
Dan terima kasih tak terhingga kepada Tuhanku yang Maha Pengasih dan Penyayang. Yang membuat saya membaca buku Sadako, yang membuat orang tua saya tidak menutup sumur di belakang rumah itu. Saya percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah Kau atur. Terima kasih sudah menunjukkan cahaya-Mu kepadaku.
Dan ngomong-ngomong tentang cahaya, tetiba saya jadi keingat Jamie yang diperankan oleh Mandy Moore, menyanyikan lagu Lighthouse di film A Walk to Remember sebagai permintaan kepada Tuhannya untuk selalu membimbingnya. Dengan sedikit penyesuaian lirik, saya rasa saya juga bisa meminta hal yang sama kepada Tuhan saya ^^
Here is my thought, this is my plea.
God let Your holy light, shine on me.
I believe in You, hear my prayer.
I know I am not worthy but I need your help.
God shine Your light, shine it this way.
Shine it so I can see which way to take.
My faith is in you, to bring me through.
I have one question.
Lirik yang indah ya ^^
Dan ngomong-ngomong tentang cahaya lagi, saya jadi teringat juga sama bagian penutup The Tale of Despereaux by Kate diCamillo,
Aku akan senang sekali kalau kau menganggap aku sebagai tikus yang bercerita kepadamu, menceritakan kisah ini dengan segenap hatiku, membisikkannya ditelingamu untuk menyelamatkan diriku dari kegelapan, dan untuk menyelamatkanmu dari kegelapan juga.
“Cerita seperti cahaya,” kata Gregory si sipir pada Despereaux.
Anak-anak, kuharap kau menemukan cahaya di sini.
Ya benar sekali Kate diCamillo, aku menemukan cahaya di ceritamu. Disetiap tokohnya, yang menyelamatkan hati mereka masing-masing dari kegelapan dengan memaafkan. Memaafkan dengan tulus, meskipun yang telah dilakukan oleh musuh mereka sangat menyakitkan. Terima kasih ^^
Ngomong-ngomong, mungkin ada yang bertanya-tanya tentang judul artikel ini kok sudah langsung Buku dalam Hidupku #7. No. 1-5 nya sudah dipost duluan untuk event #5BukudalamHidupku yang diadakan oleh Mas Irwan Bajang. Terus saya memutuskan untuk melanjutkan “hashtag” ini. Yang ke-6 saya post untuk event BBI Anniversary.
At last, mumpung masih dalam suasanan Ramadhan, saya mau mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa ya ^^. Dan karena sebentar lagi lebaran, saya juga mau mengucapkan Selamat Idul Fitri 1435 H. Semoga kita berhasil meraih fitrah di tahun ini. Mohon maaf lahir dan batin semuanya.
See yaaa 😀