Halo…., ketemu lagi di Posting Bareng BBI 2016.
Bulan ini temanya adalah #BBIBookishConfession. So, para BBI-ers ditantang untuk membuat pengakuan sehubungan dengan aktivitasnya sebagai bookish. Whuah, pas sekali membuat pengakuan di bulan yang penuh ampunan ini, #edisiramadhan.
Ngomong-ngomong sebenarnya, saya punya banyak hal untuk diakui. Secara saya sudah gemar “megang-megang” buku sejak kecil. Dari doyan kasih nama dan tanggal beli di halaman pertama buku dengan tulisan yang aduhai jeleknya, ngasih selotip norak untuk melekatkan sampul plastik, sampai numpahin kopi ke buku yang lagi di baca, *selfkeplak*.
Tapi dari semuanya, ada 3 hal yang menurut saya paling membuat saya, errr…, merasa sedikit berdosa, XD. 3 hal itu adalah:
Saya mengaku kalau saya pelit meminjamkan buku ke orang lain
Yah, ini tidak lepas dari pengalaman buruk di masa lalu, *lebay*. Pertama kalinya saya meminjamkan buku koleksi pribadi ke teman-teman, sampulnya sobek. Buku kedua, punggung bukunya koyak. Bahkan ada beberapa buku yang tidak kembali.
Seharusnya itu bukan masalah sih, toh itu cuma buku kan?, hahhah. Tapi di kota terpencil seperti kota saya, buku termasuk barang yang susah didapat dan harganya mahal. Saya mengharapkan para peminjam bisa menjaga buku yang mereka pinjam dengan sebaik-baiknya. Meskipun sudah hukum alam juga sih, kalau buku sudah sering dipinjamkan ke sana-sini, kondisinya pastilah berbeda dengan kalau cuma kita sendiri yang baca.
Tapi sekarang saya sudah insaf kok. Yang mau pinjam buku-buku saya silakan. Kecuali buku-buku tersebut sudah sangat langka, maka saya akan sangat selektif untuk memilih si peminjam, *pelitnya masih tersisa*. XD
Cuma saya orangnya ga enakan buat menagih buku yang dipinjam. Jadi kalau ga dikembalikan, serius, saya bakalan kasihkan saja bukunya. Tapi jujur, saya bakalan dongkol dan bakalan ingat untuk tidak meminjamkan buku lagi ke orang tersebut, *edisidendamnyipelet*.
Saya mengaku kalau saya pernah kalap akut saat membeli buku
Pertama kalinya tinggal di kota besar untuk kuliah, dengan jarak Toko Gramedia yang cuma sejam, membuat saya kalap.
Timbunan saya memenuhi rak meja belajar, sampai buku-buku kuliah mengungsi ke kotak bekas air mineral. Bahkan baju di lemari pun harus berbagi tempat dengan buku.
Uang beasiswa yang didapatkan dengan susah payah juga berakhir menjadi novel-novel tebal. Ayah sampai marah. Awalnya beliau bangga karena anaknya doyan baca buku, sekarang beliau sepertinya berpikir ulang.
Untuk mengerem kekalapan saya, dulu ortu sampai mengancam untuk tidak membelikan baju lebaran. Saya sih enjoy saja, bukannya tidak ada baju buat lebaran tidak apa-apa, huehehe. Lagian saya tidak percaya, masa sih, ortu tega tidak membelikan saya baju baru. Eh tapi ternyata ancamannya serius, saya benar-benar tidak dibelikan baju baru buat lebaran. Sedih juga ternyata, secara ortu, kakak adek, kakek nenek, paman bibi, dan tetangga-tetangga pada pakai baju baru, cuma saya yang pakai baju tahun lalu.
Terus apakah sekarang saya insaf? Ya karena sekarang saya sudah balik lagi ke kota kecil yang tidak ada toko bukunya, saya insaf. Tapi tak tau deh kalau nasib kembali membawa saya untuk berdomisili di tempat yang ada toko buku se-level Gramedia, dan karena sekarang saya sudah punya gaji sendiri, mungkin tidak, *eh*.
Saya mengaku kalau saya tidak enak memberi rating rendah terhadap buku sejelek apapun buku itu
Sebelum kuliah, buku bacaan saya terbatas. Kalau pergi liburan ke Banjarmasin, buku-buku yang saya beli pastilah buku sejuta umat. Hasilnya, sudah terlalu melekat di pikiran saya, kalau semua buku itu bagus.
Tapi setelah saya kuliah di kota besar, saya mulai berani membeli buku-buku yang baru terbit atau yang belum populer.
Dan akhirnya, saya menyadari kalau tidak semua buku ditulis dengan bagus. Saya juga baru menyadari ada banyak genre buku, yang mana meskipun ditulis dengan bagus, belum tentu cocok dengan selera seseorang. Saya juga baru menyadari, meskipun sebuah buku ditulis dengan baik, ada hal-hal tertentu—seperti tokoh utama yang menyebalkan—yang dapat memberikan efek karena nila setitik rusak susu sebelanga terhadap buku.
Awalnya, saya merasa yakin untuk memberikan bintang 1 atau bintang 2 terhadap buku yang tidak saya suka. Tapi selalu saja, setelah saya pikir-pikir kembali, kok rasanya saya kejam sekali ya, hahhah. Saya jadinya selalu mencari -cari alasan untuk memberikan buku tersebut setidaknya 3 bintang.
Penilaian saya jadi bias. Rasanya saya tidak tega mengatakan kalau sebuah buku itu jelek. Meskipun jeleknya itu cuma pendapat saya.
Gara-gara sifat ga enakan ini, saya jadi kesal sendiri. Soalnya saya pernah jadi “korban rating bagus”, tapi ketika membaca bukunya, saya … eh … kurang suka. Tapi, seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, saya tidak tega memberi rating jelek, alhasil, buku tersebut juga saya kasih rating yang bagus, *kenakeplak*.
Jadi pesan moralnya, kepada kalian yang sering melihat rating-rating saya untuk sebuah buku, tolong jangan terlalu dipercaya ya. Terutama untuk buku-buku yang saya beri rating 3, huehehe, *kabur*.
***
Oke deh, itulah pengakuan-pengakuan saya. Yuk intip pengakuan para BBI-ers lain di sini. Kocak-kocak dan ajaib-ajaib loh. Saya bahkan masih terheran-heran karena ada beberapa hal tertentu tentang buku yang saya anggap sah-sah saja, tapi ternyata merupakan hal yang “tidak sah” bagi para bookish lain. Jadi dapat pesan moral baru, tentang sesuatu yang sederhana buat kita, belum tentu sederhana buat orang lain, *tsaaah*.
At last, sampai jumpa lagi di posting bareng bulan Juli yaaaaa. Daaaah.